Posted by
Fiqrah's Blog
In:
Wajah Sistem Pendidikan di Indonesia
VN:F [1.9.20_1166]
please wait...
Rating: 7.5/10 (167 votes cast)
Kita sebagai orang tua seringkali
mengikutkan anak kita berbagai macam les tambahan di luar sekolah
seperti les matematika, les bahasa inggris, les fisika dan lain-lain.
Saya yakin hal ini kita dilakukan untuk mendukung anak agar tidak
tertinggal atau menjadi yang unggul di sekolah. Bahkan, terkadang ide
awal mengikuti les tersebut tidak datang dari si anak, namun datang dari
kita sebagai orang tua. Benar tidak?
Memang, saat ini kita menganggap tidak
cukup jika anak kita hanya belajar di sekolah saja, sehingga kita
mengikutkan anak kita bermacam-macam les. Kita ingin anak kita pintar
berhitung, kita ingin anak kita mahir berbahasa inggris, kita juga ingin
anak kita jago fisika dan lain sebagainya. Dengan begitu, anak memiliki
kemampuan kognitif yang baik.
Ini tiada lain karena, pendidikan yang
diterapkan di sekolah-sekolah juga menuntut untuk memaksimalkan
kecakapan dan kemampuan kognisi. Dengan pemahaman seperti itu,
sebenarnya ada hal lain dari anak yang tak kalah penting yang tanpa kita
sadari telah terabaikan. Apa itu? Yaitu memberikan pendidikan karakter
pada anak didik. Saya mengatakan hal ini bukan berarti pendidikan
kognitif tidak penting, bukan seperti itu!
Maksud saya, pendidikan karakter penting
artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif. Beberapa kenyataan yang
sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak
dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang
kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak
jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah
bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif dan
pendidikan karakter.
Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu
tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama juga artinya
bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta.
Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal
nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan
dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan
kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan
dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak
mengabaikan pendidikan karakter anak didik. Lalu apa sih pendidikan
karaker itu?
Jadi, Pendidikan karakter adalah
pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada
anak didik. Saya mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang
dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang
bernama FW Foerster. Pertama, pendidikan karakter menekankan setiap
tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati
norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut. Kedua, adanya
koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu
anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah
terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi
baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan
mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya.
Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa
dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan
kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa
yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter penting bagi
pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau
dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak
mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan,
kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya.
Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya
memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu
mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard
University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak
semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan
kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola
diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui
pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.
Berpijak pada empat ciri dasar
pendidikan karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam pola
pendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan
pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk,
memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi
potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang
dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil
keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anak didik akan arti
keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Kalau
menurut saya, sebenarnya yang terpenting bukan pilihannnya, namun
kemampuan memilih kita dan pertanggungjawaban kita terhadap pilihan kita
tersebut, yakni dengan cara berkomitmen pada pilihan tersebut.
Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan
dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam
pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar
juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu,
generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem
pendidikan karakter.
Posted on
-
0 Comments
Posted by
Fiqrah's Blog
In:
Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas
VN:F [1.9.20_1166]
please wait...
Dalam tataran teori, pendidikan karakter
sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia.
Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya.
Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah
program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya
harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas,
kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia
bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan
karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan
sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah
jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang
anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah
menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke
tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah
akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur
pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan
indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa
di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu
saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika
dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah
mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang
lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa
situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur
hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar
lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan
suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus
dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice
(keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga
menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk
membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau
tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang
lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character
cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial
and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition
inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan
karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap
beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan
dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi
bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral
terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan
pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga
menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr.
Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak
cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan
dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan
tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan
karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di
sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang
dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam
keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter
merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam
pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga
masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan
adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang
kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam
lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan
pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder
lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan
demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan
pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang
kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah
yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah
pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat
mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan
masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman
nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais
Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang
dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara
keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini
dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter
yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur
yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki,
adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya
merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya
wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah,
tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari
itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti
yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi
tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen
sekolah.
Posted on
-
0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)